PAHLAWAN DEVISA BAK PECUNDANG

Selasa, 21 Desember 2010


Kabar menyesakkan kembali datang dari Timur Tengah. Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang bekerja disektor Informal sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) yang berasal dari Indonesia tewas dianiaya oleh majikannya. Begitu miris kehidupan para Tenaga Kerja Wanita Indonesia yang dikirim ke Luar Negeri bila dibandingkan dengan kehidupan Tenaga Kerja yang masih menetap di Indonesia. Hanya dengan iming-iming kesuksesan semata yang memang belum pasti, mereka harus mendapatkan bonus-bonus gratis menjadi bahan efektif untuk latihan majikannya. Jadi secara tidak langsung pun TKI juga membantu para majikan untuk menjadi orang yang bermoral hewani serta menjadi pembunuh berdarah merah (alih-alih berdarah hijau).
Kasus paling mutakhir yang dialami Tenaga Kerja Wanita Indonesia: Sumiati & Kikim komalasari tersebut kembali mengingatkan kita akan sederet kisah panjang penderitaan “Pahlawan Devisa”. Ada Haryatin yang buta akibat disiksa majikan di Riyadh, Sariah yang ditemukan tewas di pinggir jalan di Serban Provinsi Al Abha Kuwait setelah mengalami kekerasan fisik dan seksual, Ceriyati yang nekat kabur dari apartemen majikannya di Malaysia meski harus bergantung ditali kain agar lolos dari penganiayaan sang majikan, Siti Hajar yang sekujur tubuhnya terluka akibat sering disiksa majikan, lebih tragis lagi nasib Halimah binti Kohar yang meninggal di kolong jembatan Kendarah, Jeddah, Arab Saudi karena penyakit paru-parunya tidak mendapat perawatan maksimal selama tinggal dikolong jembatan. Dan lain lagi korban yang tidak terekspos media. Ada yang cacat fisik, mengalami gangguan jiwa bahkan juga memiliki anak karena diperkosa. Dari tahun ke tahun kisah pilu para TKI seperti tidak pernah berakhir.
Hal ini sangat ironis, karena sesungguhnya para Tenaga Kerja Wanita Indonesia telah memberikan kontribusi devisa bagi negara yang tidak sedikit. Menurut Bank Indonesia, selama tahun 2009 melaporkan devisa dari pengiriman tenaga kerja Indonesia mencapai Rp82 triliun. Jumlah tersebut tidak termasuk gaji yang dibawa langsung saat pulang maupun dititipkan kerabat yang pulang ke tanah air.
Julukan “Pahlawan Devisa” yang kerap diberikan kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bisa merendahkan sisi kemanusiaan, karena mereka seakan-akan lebih dianggap sebagai penghasil keuntungan bagi negara. “Pahlawan Devisa” bagi TKI memiliki makna yang bias karena dapat diartikan bahwa TKI hanya dipandang sebagai angka-angka yang mengucur ke kas negara. Mereka tidak dianggap sebagai pahlawan karena mengurangi pengangguran di dalam negeri, atau orang yang telah memperbaiki kesejateraan bangsa, apalagi orang yang berkorban untuk menyelamatkan keluarganya.
Banyak sekali kasus kekerasan oleh majikan pada TKI di Luar Negeri, tetapi tidak ada perlindungan dari pemerintah. Keberanian Pemerintah jika ada kasus tersebut hanya bersikap reaktif setiap muncul kasus baru tetapi tidak menuntaskan sampai akar persoalan TKI dan lempar tanggung jawab. Paling biro penyedia jasa tenaga kerja ataupun pemerintah hanya memberikan bantuan sekadarnya kepada keluarga TKI. Semestinya ada kebijakan tertentu dari pemerintah yang benar-benar menjamin atas keberadaan TKI di luar negeri, apalagi bermukim untuk waktu yang lama.
Penyiksaan TKI melanggar prinsip-prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diakui internasional bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu serta tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawai/dihina. Pasal 27, 28A, dan 28G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menjamin hak hidup, hak atas perlindungan diri pribadi, hak hidup layak, dan hak diperlakukan setara di depan hukum. “Pemerintah tidak boleh membiarkan kejahatan kemanusiaan terhadap warga negara, apalagi yang dikategorikan sebagai kejahatan diluar batas kemanusiaan”. Untuk menghindari kasus-kasus serupa tidak berulang, pemerintah Indonesia harus memaksimalkan perlindungan TKI, yaitu pendampingan selama proses hukum sesuai ketentuan Undang-undang nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri.
Kesalahan terletak bukan pada TKI, juga bukan pemerintah negara penerima TKI. Tetapi kesalahan ada pada sistem pemerintahan negara kita. Memberi kepercayaan sepenuhnya kepada PJTKI untuk mengelola TKI, sejak awal hingga sampai ditujuan, sungguh tidak bijaksana. Kita tidak perlu malu untuk belajar dari Negara Filipina, salah satu Negara pengirim tenaga kerja terbesar di dunia. Di Arab Saudi, tenaga kerja asal Filipina termasuk favorit dan terkenal mahal. Untuk mendapatkan seorang pembantu rumah tangga asal Filipina, keluarga Arab Saudi harus mengantri panjang di Kedutaan Besar atau Konsulat Filipina.
Hal tersebut menunjukkan bahwa seluruh permintaan tenaga kerja harus melalui permohonan ke kedutaan atau kantor-kantor perwakilan negara Filipina, sehingga seluruh tenaga kerja yang terserpa terdata dan terwarisi dengan baik oleh pemerintah Filipina. Selain itu, pemerintah Filipina membekali mereka dengan keterampilan yang memadai, sesudai dengan bidangnya termasuk pemahaman bahasa, sebagai alat komunikasi utama. Tidak heran jika gaji tenaga kerja Filipina jauh lebih mahal dari TKI.
Sulitnya mendapatkan tenaga kerja dari Filipina itulah yang menyebabkan banyak keluarga Arab Saudi yang kemudian berpaling kepada TKI, yang relatif lebih mudah. Ya, tinggal pesan kepada perwakilan PJTKI, bayar jasa, lalu dapatlah pembantu rumah tangga dengan kualitas yang tidak jelas.
Beberapa hal yang mendesak untuk segera dilakukan pemerintah dalam melindungi TKI yaitu pertama dengan menerapkan hukum berlapis. Dalam hubungan ini, hukum perlindungan terhadap TKI harus tidak terbatas antara pemerintah pengirim dan penerima TKI, tetapi juga antara kedua pemerintah dengan Perusahaan Jasa TKI (PJTKI) maupun antara PJTKI, pihak majikan pengguna TKI, dan TKI itu sendiri. Hukum berlapis dibuat untuk memperkecil peluang dan kesempatan pengguna TKI berlaku sewenang-wenang.
Kedua, Memberlakukan Standar Kemampuan TKI. Tidak meloloskan tenaga kerja yang buta huruf. Dengan demikian, para TKI dapat memahami kontrak kerja sekaligus dapat bekerja secara profesional. Untuk PJTKI, Depnakertrans dapat menuntut adanya pendidikan dan pelatihan TKI yang bukan sekadar memenuhi prasyarat formal. PJTKI juga harus melaporkan data TKI yang sebenarnya. Dengan data yang tidak dipalsukan, akan lebih mudah bagi pemerintah untuk memberikan bantuan hukum apabila mereka mendapatkan musibah.

0 komentar: