CACAT MORAL MELUMPUHKAN KESUKSESAN

Selasa, 28 Desember 2010


Oleh: Fitri Nurmahmudah

DINAMIKA pendidikan di negara kita sangat tinggi. Itulah perlunya menjadikan setiap tindakan sebagai landasan bagi keberhasilan pendidikan. Bukan hanya karena untuk memperoleh tujuan semata tanpa adanya proses di dalamnya yang baik.
Lembaga pendidikan (: sekolah/PT) merupakan tempat untuk belajar manusia menjadi dewasa, bukan hanya sebagai lembaga yang mencetak kader keilmuan saja. Oleh karena itu keberhasilan atau kesuksesan pendidikan tidak hanya dipandang dari sudut intelektual peserta didik, namun juga moral yang dimiliki oleh masing-masing individu. Hakekat pendidikan itu sangat luas, tidak hanya keberhasilan dan nilai tinggi ketika UN, yang paling penting adalah perubahan perilaku dan emosional yang bagus dari peserta didik. Kita tentu tidak menginginkan lahirnya intelektual yang sombong serta besar kepala karena ilmu yang dimilikinya, bukan? Membentuk generasi yang berbudi itulah sebenarnya tujuan mulia dari pendidikan.
Melihat kembali dalam UU RI nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bab II, pasal 3) telah dijelaskan fungsi dari tujuan Pendidikan Nasional yaitu “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta tanggung jawab”.
Realita yang ada cetakan dari sekolah/PT berbeda dengan yang tertulis diatas. Sampai detik ini masyarakat belum merasa bangga dengan hasil pendidikan. Banyaknya kasus narkoba, pelecehan seksual, tawuran/pertengkaran/perkelahian dan lain sebagainya yang menimbulkan hukum bertindak dan parahnya dilakukan oleh calon-calon cetakan itu sendiri. Bahkan mempunyai nilai yang bagus pada saat kelulusan namun tidak sebanding dengan kuantitas apa yang diperoleh.
Ketidakberhasilan pembangunan pendidikan adalah akibat kesalahan arah dan prosesnya: pertama, keberhasilan pendidikan hanya diukur dari keunggulan ranah kognitif saja. Ranah afektif dan psikomotrik nyaris terabaikan. Masyarakat terlena dengan anggapan bahwa angka (nilai raport, dan nem) yang tinggi adalah pengantar kesuksesan hidup masa depan. Benarkah anggapan seperti itu? Tidak seluruhnya;
Kedua, proses pendidikan berubah menjadi proses pengajaran. Maksudnya, peserta didik di sekolah menjadi obyek penerima seabrek materi teori tentang sesuatu (materi ajar) bukan dibelajarkan untuk belajar hidup. Peserta didik hafal dengan banyak materi akan tetapi tidak bisa berbuat tentang materi tersebut. Misalnya peserta didik dituntut hafal menyebutkan penyair-penyair terkenal dan hasil karyanya tetapi ia sendiri tidak belajar untuk bisa membuat syair/puisi.
Ketiga, instrumen evaluasi pendidikan mengesampingkan pola berpikir convergen (Arif Rahman: 2003). Soal-soal ujian selalu berbentuk pilihan ganda tertutup. Peserta didik dihadapkan dengan jawaban-jawaban yang telah ditentukan oleh pembuat soal sehingga nyaris tidak pernah berpikir kreatif, imaginatif dan inovatif.
Keempat, kemampuan menguasai pengetahuan tidak disertai dengan pembinaan belajar. Budaya belajar jika akan ada ujian (sebut: SKS) mewabah pada peserta didik. Belajar menghafal materi ajar hanya sepotong-sepotong adalah budaya yang tak terpisahkan. Lembaga pendidikan (sekolah/PT) tidak memberikan pembinaan kegemaran belajar secara optimal.
Kelima, Materi pendidikan dan buku-buku pelajaran miskin akan upaya untuk menyeimbangkan faktor praktek dan teori, faktor IPTEK dan IMTAQ, faktor lembaga pendidikan dan dunia kerja, faktor kurikulum dan kebutuhan, faktor soal ujian dan pengembangan pola berfikir, dan lain sebagainya.
Keenam, Manajemen pendidikan menekankan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah dan bukan kepada seluruh “stake holder” pendidikan (yaitu: masyarakat, orang tua, guru, dan peserta didik itu sendiri). Alur tanggung jawab yang demikian ini menuntun pengelola sekolah/PT, lebih bersikap patuh kepada atasan daripada kepada masyarakat. Akibatnya, menanti petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan pendidikan dari atasan menjadi budaya yang tak dapat ditinggalkan. Keterlambatan petunjuk dari atasan berpengaruh pada keterlambatan sekolah bertindak.
Ketujuh, Profesi guru yang terkesan menjadi profesi ilmiah saja dan kurang disertai bobot profesi kemanusiaan. Hal ini berakibat suara guru kurang bergema di masyarakat manakala berbicara selain materi ajar. Berbeda dengan seorang da’i yang setiap kata dari bibirnya dapat mempengaruhi orang banyak.
Kedelapan, Tittle dan gelar menjadi target pendidikan. Akibatnya, terjadi pengejaran gelar dan bukan ilmu pengetahuan. Kondisi pengejaran ini sering diraih secara tidak sehat. Muaranya, dunia pendidikan pun menjadi ajang bisnis.
Hal tersebut sangatlah miris, ketika realita yang ada tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Lalu, apakah peran pendidikan hanya sebatas mencetak lulusan yang berintelektual tinggi namun miskin moral? Dan apakah semakin tinggi “pendidikan” seseorang semakin “tidak berpendidikan” dan “tidak berkarakter” pendidikan tersebut?
Menurut penelitan terakhir (Goleman: 1996) menunjukkan bahwa IQ (Intellectual Quotient) hanya berperan 20% menunjang kesuksesan seseorang, sedangkan 80% sisanya justru EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Qoutient). Pembelajaran nilai karakter berbasis imtak adalah proses pembelajaran di mana semua mata pelajaran dilandasi oleh khazanah nilai-nilai universal yang bersumber dari agama sebagai sumber nilai ilahiah.
Pendidikan karakter bukan pendidikan yang berwujud dalam mata pelajaran, namun pendidikan yang bisa ditanamkan dalam setiap lini kehidupan, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan itu sendiri. Kunci dari keberhasilan pendidikan karakter adalah keteladan. Di mana keteladanan itu harus diperlihatkan oleh semua lapisan termasuk guru, orang tua, dan masyarakat.
Nilai-nilai semacam menahan diri, mengendalikan emosi, memahami emosi orang lain, memiliki ketahanan menghadapi kegagalan, bersikap sabar, memiliki motivasi diri yang tinggi, kreatif, berempati, bersikap toleran adalah contoh nilai-nilai yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan. Untuk itulah lewat pendidikan di sekolah nilai-nilai itu perlu dikembangkan.

0 komentar: